Ibu Mertua

Coba sini aku ceritakan sebuah kisah tentang seseorang. Tidak butuh keahlian atau latar belakang pendidikan yang mumpuni untuk menceritakan sebuah kisah. Seseorang hanya perlu bertutur sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dari sana kita bisa belajar banyak hal, tentang baik buruknya hidup, tentang bagaimana menghadapi manusia, tentang bagaimana kita berprinsip tapi tetap hidup dalam lingkungan yang berbaur.
Sore itu aktivitas sudah tidak begitu banyak, maklum hari ini pertengahan bulan. Kedatangan barang yang harus di cek dan di-input biasanya hanya ramai di awal dan akhir bulan. Kalau sudah begini, kami hanya duduk dan bercerita kesana sini.

"Kesel gue, suami jadinya mudik ke kampung. Ih udah dibilang tahun baru aja, kalo lebaran pulkam, besok tahun baru pulkam kan jadinya boros. Sekalian gitu maksudku kan Al udah gedhe jadi bisa diajakin.", kata mpok.
"Kangen kalik Mbak sama ibuknya."
"Tahu deh"

Bang Kodok cuma diem, masih sibuk ngerjain checksheetnya.

"Eh Bang, katanya kalo kita rukun sama ibu  mertua itu suami seneng banget ya?" kataku minta pendapatnya, karena menurutku walaupun dia bader tapi pendapatnya selalu fair dan logis.
"Nggak sih kalo gue", katanya polos banget ngomongnya.
"Lho kok gitu. Tapi kan bang kodok gak suka juga kalo Teh Tina ribut sama Ibu bang kodok kan?"
"Ya iya. Habisnya bini gue kalo deket sama emak gue, apa-apa jadinya dilaporin. Bini gue mah sukanya ngadu."
"Yaelaaah"
Tapi gimanapun omongan orang, tetap menurutku yang paling bener ya yang menurut agama. Masih inget banget ucapannya Ust. Budi Ashari (pakar sejarah Islam dan parenting), kurang lebih begini...'wallahi, jika Anda hormati ibu mertua Anda, suami Anda itu akan sangat senang dan bahagia. Karena itulah satu-satunya manusia paling berharga baginya, ibunya.'

Lama, lumayan hening, lah kalo elu nik, misal nih dikasih pilihan. Suami lo disuruh milih antara orang tua atau elu, gimana?

"Ya kalo menurut aku mah, tetep dia harus mengutamakan ibunya. Kalo dia milih aku dulu dibanding ibunya justru aku meragukan agamanya donk."

"Ya boleh sih kayak gitu, tapi kamu gak bisa saklek juga. Soalnya ada kejadian, temen gue, emang ibunya kurang bener sih. Riweh masalah duit, ya salah temen gua juga gak bisa mengkomunikasikan dengan baik. Udah hampir cerai malah."

"Iya juga sih..."

Setelah itu Bang kodok masih melanjutkan,

"Tapi emang sih ada benernya, dalam pernikahan tuh yag namanya restu dari ibu si cowok penting banget."

"Lah emang gimana Bang?"

"Ya gitu, penting banget. Kalo pernikahan lu ga dapet restu dari emaknya cowok, bisa diperkirakan pernikahan lu tuh bakalan berat banget."

Tanpa menanggapi apapun, aku masih dengan sabar menunggu lanjutan kalimat darinya...

"Nih kejadian nyata, mbak gue sendiri yang ngalamin. Lu kan tahu kan Mbak gue awalnya gak dapat restu dari keluarga cowoknya. Bukan cuma beda agama, mereka beda ras. Namanya orang cina kan biasanya nyari yang sama. Lah Mbak gue, udah beda ras, beda agama, dan ortu gue cuma tentara biasa aja."

Aku masih setia mendengarkan, hanya aja sesekali mata dan alisku menanggapi. Cukup dengan ekspresi yang pasti Bang kodok pahami. 

"Ehhh lu nggak percaya..." dia bilang agak nyolot ketika alisku naik seolah tak percaya.

Dia pun melanjutkan,

"Bener kalik, tentara mah kalo yang banyak duit malah aneh. Tuh Bapak gue dulu cuma punya motor satu doank Itu aja udah motor jadul", lanjutnya.

"Lha terus gmana?"

"Ya karena Mbak gue nekad ya udah akhirnya mereka jadi. Terpaksa kakak Ipar ga diaku anak lagi. Semua asetnya ditarik, mulai dari atm, mobil. Semuanya."

"Dari situ, kakak gue memulai hidup yang berat. Mulai dari jualan mainan anak-anak di SD, keliling. Rumah juga cuma ngontrak. Pokoknya memprihatinkan banget. Habis itu lama berselang, mertua kakak gue sakit. Dua-duanya. Akhirnya setelah beberapa tahun ipar yang udah ga di akui anak itu dicari."

"Setelah itu, Ipar gue di suruh balik kerumahnya. Nah itu baru ipar kan? Mbak gue belum. Tapi ipar gue selalu meyakinkan mbak gue, dia bilang ketika mau dibawa keruamh si cowok itu, 'ada aku disini, kamu nggak perlu takut dengan keluargaku'."

"Kakak gue akhirnya mau kesana. Awalnya Mbak gue ketika disana cuma ngobrol sama pembantu-pembantunya. Lu bisa bayangin kan, kakak gue minder. Lama-lama malah justru keponakan-keponakan nya yang bisa deket."

"Nah habis itu, karena mungkin anak-anaknya yang lain sibuk. Mbak gue sama suaminya disewain rumah gedhe banget deket rumah ortunya itu. Nah itu pun karena mereka butuh buat ngrawat karena lagi sakit. Dari sana, Mbak gue yang biasanya ngurusin ortunya. Setelah itu, ketika sakit keras, ibu suami Mbak gue itu justru manggil nama Mbak gue, dia pengen nyandar di pangkuan Mbak gue. Sampai meninggal pun dia ada dipangkuan Mbak gue. Dia bilang minta maaf sama Mbak gue, karena mungkn udah mulai menyadari bahwa Mbak gue baik. Mulai sejak saat itu, Mbak gue diterima oleh keluarga besarnya."

"Namanya orang cina ya, Ipar gue dibantuin segala macem dalam hal bisnis. Akhirnya kehidupan Mbak gue sama suami berubah jauh banget seratus delapan puluh serajat. Setelah, persis setelah mendapat restu dari ibu suami Mbak gue. Punya usaha toko sendiri,, mobil udah empat, rumah gedong banget, di perumahan Alam Sutra di Tangerang."

"Wah keren banget ya Bang." Aku cuma manggut-manggut dan bertakbir dalam hati membenarkan seluruh janji Allah. Apapun yang diajarkan dalam agama selalu benar, dan InsyaAllah ketika berada dijalannya tidak akan tersesat.

Panjang sekali aku simak cerita bang kodok. Aku simak dan ingin sekali aku catat dalam perjalanan hidupku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabat yang Hilang

Hujan

Pertama itu